Senin, 08 Februari 2010

KAWASAN BINTARAN SEBAGAI SALAH SATU PERMUKIMAN INDISCHE

1. KOTA YOGYAKARTA SEBAGAI SALAH SATU PENINGGALAN KOLONIAL

Di dalam perjalanan sejarahnya, Yogyakarta juga diwarnai oleh unsur pemerintahan kolonial belanda yang berusaha menguasai dan mengawasi gerak para sultan di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Oleh karena itu mereka juga menunjukkan keberadaannya dengan tinggal di Yogyakarta. Hal ini tercermin dari berbagai jenis tinggalan Belanda di kota Yogyakarta dan sekitarnya, yang berupa fasilitas-fasilitas utama dan fasilitas pendukung.
Fasilitas utama bagi kepentingan pengawasan oleh pemerintahan kolonial Belanda terhadap para sultan di Yogyakarta adalah benteng Rustenburg yang dibangun pada tahun 1756-1778, kemudian disempurnakan pada tahun 1786. benteng tersebut kemudian diganti namanya menjadi Vredeburg. Perlu diketahui bahwa burg berarti benteng, rust berarti beristirahat, sedang vrede berarti perdamaian. Nama yang tidak cocok untuk sebuah benteng.
Setelah itu banyak dibangun fasilitas pendukung yang juga ditempatkan di pusat kota, antar lain Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (tahun 1822), Loji Kebon (kediaman dan kantor residen), kawasan Loji Kecil, perkantoran, dan prasarana-prasarana umum baik untuk kalangan sipil maupun militer. Menarik perhatian bahwa bangunan-bangunan untuk aktivitas politik, militer, ekonomi Belanda “disisipkan” di sepanjang dan memotong poros imajiner Kraton – Tugu. Tampaknya hal itu adalah cermin sikap konfrontatif terhadap lembaga Kasultanan.
Di kawasan antara benteng Vredeburg – Alun-Alun Ler terdapat bangunan kantor Asuransi Nill Maatschappij (Nill Mij) sekarang bangunan BNI ’46. Pada masa pendudukan Jepang, bangunan tersebut digunakan untuk kantor radio Jepang dengan nama Hoso Kyoku. Selain itu terdapat pula kantor PTT (Post, Telephone, Telegraph) sekarang menjadi Kantor Pos Besar. Di sebelah timurnya berdiri gedung De Javasche Bank yang sekarang menjadi kantor Bank Indonesia.
Prasarana umum lainnya adalah gedung NV Grand Hotel de Djogdja yang kemudian diubah menjadi NV Narba, kemudian menjadi Hotel Toegoe; dan Grand Hotel de Djogdja sekarang Hotel Garuda. Stasiun kereta api pertama yang dibangun oleh Nedelandsch-Indie Spoormaatschappij adalah stasiun Lempuyangan yaitu pada tanggal 2 Maret 1872, sedangkan stasiun Tugu dibangun oleh Staat Spoorweg pada tanggal 2 Mei 1887. Pembuatan stasiun-stasiun tersebut dirasa perlu karena pada abad XIX itu transportasi dengan kereta api meluas, sehingga sultan merasa perlu membangun juga prasarana transportasi kereta api.
Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VII (tahun 1877- 1921). Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan dan pendidikan. Pada waktu itu karena warga Belanda makin banyak jumlahnya dan aktivitas mereka makin beragam, dibangunlah kantong-kantong pemukiman khusus untuk mereka, lengkap dengan berbagai fasilitas yang diperlukan pada masa pra Perang Dunia II. Kantong-kantong pemukiman itu bergeser dari seputar pusat kota ke arah timur (Bintaran), timur laut (Kota Baru), dan utara (Jetis)

2. KAWASAN BINTARAN SEBAGAI SALAH SATU KAWASAN PENINGGALAN KOLONIAL

Kawasan Bintaran merupakan perkembangan dari pemukiman Belanda awal di Yogyakarta, yaitu di Loji Kecil dan Loji Besar (Benteng Vredeburg), karena kedua tempat tersebut sudah tidak dapat mengakomodasi warga Belanda. Perlu diketahui bahwa menjelang Perang Diponegoro, jumlah orang Eropa di Yogyakarta sudah mencapai 400 orang. Pada awalnya kawasan Bintaran belum dilengkapi dengan sarana dan prasarana umum yang diperlukan oleh penghuninya. Orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran masih menggunakan fasilitas umum yang terdapat di kawasan Loji Kecil dan Loji Besar.
Dengan semakin bertambahnya orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran, maka dibangunlah gereja, dan bahkan juga penjara. Orang-orang Belanda yang bermukim di Bintaran adalah opsir-opsir, dan pemilik atau pegawai pabrik-pabrik gula di beberapa wilayah Yogyakarta.
Bangunan rumah tinggal di kawasan Bintaran bergaya Indis dan mempunyai bentuk arsitektur yang hampir sama dengan pemukiman Belanda di kawasan Loji Kecil, tetapi halamannya lebih luas. Bangunan indis mempunyai karakteristik yang khas dan berbeda dengan bangunan pribumi. Rumah-rumah tersebut mempunyai jendela-jendela besar, dan plafond tinggi, sehingga udara dapat bersirkulasi dengan mudah. Selain itu, struktur penyangga seperti dinding dan tiang-tiang besi dibuat kokoh. Demikian pula karakter bangunan-bangunan di kawasan itu juga mempunyai beberapa detil khas, antara lain : tritisan yang relatif kecil, balustrade dari teralis besi, daun pintu luar dari kayu berbentuk krepyak dan daun pintu dalam dari kaca, serta mempunyai pilar-pilar.
Bangunan dengan bentuk arsitektur semacam itu antara lain adalah : bangunan rumah tinggal pejabat keuangan Puro Paku Alam VII – sekarang Gedung Sasmitaloka Panglima Besar Sudirman, dan kediaman Yoseph Henry Paul Sagers – sekarang rumah tinggal dan kantor Komando Pemadam Kebakaran, bangunan pengawas militer untuk daerah Paku Alaman – sekarang Museum Biologi, dan SMP BOPKRI II.
Serupa dengan Kotabaru, Bintaran adalah alternatif tempat tinggal bagi orang-orang Belanda yang tinggal di Indonesia. Tumbuh ketika kawasan Loji Kecil tak dapat lagi menampung penduduk. Secara fisik, kawasan yang Anda dapat mencapai dengan berjalan ke arah timur dari perempatan Gondomanan tidak tumbuh secepat Kotabaru. Salah satu faktor adalah lokasi yang masih dekat dengan Loji Kecil sehingga berbagai fasilitas dapat diakses dengan mudah.
Sebelum menjadi tempat kediaman Indische, Bintaran dikenal sebagai tempat di mana Ndalem Mandara Giri berfungsi sebagai rumah Pangeran Haryo Bintoro, salah satu keturunan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pertumbuhan Bintaran sebagai tempat kediaman Indische diperkirakan dimulai pada tahun 1930-an ditandatangani dengan pembangunan rumah, fasilitas seperti gereja dan bahkan penjara.
Umumnya, orang Belanda yang tinggal di Bintaran adalah yang bekerja sebagai petugas dan pekerja di pabrik gula. Serupa dengan kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan khas arsitektur bergaya Eropa. Meskipun demikian, karakteristik bangunan di wilayah Bintaran berbeda dengan karakteristik bangunan di Loji Kecil dan Kotabaru. Halaman rumah di kawasan Bintaran lebih luas, sementara beranda lebih kecil dengan banyak pilar; eksterior jendela rana dalam bentuk buta dan daun jendela interior dihiasi dengan kacamata
Arsitektur eksotis, bangunan bersejarah di daerah ini tentunya Ndalem Mandara Giri. Arsitektur rumah itu kombinasi Jawa dan Belanda. Karakteristik Jawa dapat dilihat dari lorong yang bahan-bahannya khusus didatangkan dari Demak pada tahun 1908. Sementara itu, ciri-ciri bangunan Belanda dapat diketahui dari luas ruang dan dinding-dinding tinggi dengan jendela besar khas Belanda memiliki dua daun jendela.
Setelah Pangeran Haryo Bintoro meninggalkan tempat ini, keturunan lain dari kerajaan yang berbeda tinggal di sana. Lorong yang lebar dari rumah itu telah berfungsi sebagai ruang pameran keris, bahkan ketika rumah itu dikosongkan sejak tahun 1997. Sekarang, gedung ini yang dapat Anda temukan dengan mudah di pertigaan setelah Anda berbelok ke kiri dari Jalan Sultan Agung berfungsi sebagai kantor Karta Pustaka, dan lembaga Bahasa Indonesia-Belanda.
Bangunan historis lainnya dapat ditemukan di dekat Ndalem Mandara Giri. Salah satunya adalah bangunan Sasmitaloka Jenderal Soedirman di sisi kiri jalan Bintaran. Di masa lalu, bangunan yang didirikan pada tahun 1890 ini digunakan sebagai tempat tinggal kantor keuangan Paku Alam VII benteng bernama Wijnschenk. Bangunan dulu digunakan sebagai rumah resmi Jenderal Soedirman.
Sementara itu, Museum Biologi di jalan Sultan Agung digunakan untuk berfungsi sebagai rumah Paku Alaman pengawas militer setempat. Rumah seorang Belanda bernama Henry Paul Sagers kini berfungsi sebagai kantor Pemadam Kebakaran. Bangunan bersejarah lain adalah penjara Belanda yang saat ini berfungsi sebagai penjara Wirogunan.
Seperti tempat tinggal Indische pada umumnya, Bintaran juga memiliki fasilitas gereja. Menariknya, gereja Bintaran didirikan berdasarkan gagasan orang Jawa yang merasa tidak nyaman dengan cara orang Belanda kata doa mereka. H. van Driessche. SJ, seorang Belanda-orang Indonesia menjadi koordinator pembangunan gereja yang terletak di ujung selatan Jalan Bintaran. Penamaan gereja yang dibangun pada tahun 1931 menjadi Gereja Santo Josef yang terkait dengan doa Bapa Driessche ke Saint Josef ketika dia merasa sulit mencari lokasi gereja.
Pada masa Kolonial Belanda, Bintaran pernah menjadi pemukiman Indische. Diperkirakan dimulai awal abad XX. Seperti halnya kampung Indische lainnya, Bintaran dihiasi dengan bangunan-bangunan yang berarsitektur khas Eropa yang masih dapat dijumpai hingga saat ini.